Branjangan

Dear McPhee,
Aku tidak sabar menunggu terbit fajar. Raditya berjanji akan mengirim cerita tentang branjangan. Sesuai perjanjian, dia tidak akan merajuk jika dia punya banyak kegiatan. So, dengan senang hati ku memintanya untuk menulis cerita tentang branjangan. Sepertinya, aku akan menghadapi grafik model baru, dengan legenda baru juga. Kira-kira dia akan bercerita apa tentang branjangan. Tubuh mungilnya, suaranya, habitnya, atau pesonanya. Hmmm….. jadi tidak sabar.

“Nduk, kowe milih sing endi?”. Itulah pertanyaan bapakku saat kami duduk di beranda rumah. Salah satu kebiasaan bapak, jika tidak ada kegiatan sore hari, adalah mengajak salah satu anggota keluarganya untuk menemaninya melihat sore dan mendengarkan suara burung. 

“Waduh. Sing endi ya.......Emmm….. aku milih branjangan wae, pah.” 
Satu ciri khas dari keluarga kami adalah 'tidak ada bahasa kromo, semuanya ngoko' He…he….
“Nopo milih brajangan, nduk?” tanya bapak. 

“Ndak ngerti, pah. Koyok-e bedho banget karo sing liyane,” jawabku. 
“Branjangan yo apik kok nduk. Pilihanmu ora salah. Tapi uwis wayahe kowe dadi kuntul, ora dadi branjangan maneh,” itulah kata terakhir dari bapak. 
Saat itu, aku tidak tahu mengapa bapak ‘ngendikan’ itu. Aku hanya bisa mencerna bahwa semua waktu menuntut pilihan sendiri. Menjadi branjangan adalah pilihaku saat ini, dan itu tidak salah. Tapi pilihan itu harus diganti menjadi kuntul, dan itu pilihan yang lebih benar. Wis embuhlah. Sing penting aku senang dengan branjangan, untuk saat ini.

Dear McPhee,
Mengapa aku suka branjangan? Tidak bisa dijawab dengan pasti. Diantara 'ingon-ingon' bapak, aku lebih tertarik dengan branjangan. Mungkin pilihanku salah atau sedikit aneh karena branjangan adalah salah satu burung yang tidak ‘populer’. Jika dibandingkan ingon-ingon bapak yang lain, cucak rowo, poksay, robin, punglor, kutilang, jalak ireng, jalak bali, puter dan kutut, hanya segelintir orang yang mau memilih branjangan. Dia bukan tipe burung aduan, baik suara maupun body. Ahhh..... ini kan masalah selera.


Aku mencoba mencari kelebihan-kelebihan branjangan, sehingga aku bisa memberikan alasan 'mengapa aku memilih branjangan'. Aku merasa bahwa setiap pilihan tidak selalu didasarkan oleh kelebihan, tetapi berdasarkan kesamaan, kenyamanan atau sseuatu yang tidak bisa dijelaskan oleh kata-kata. Dan itu semua adalah alasan mengapa aku merasa sehati dengan branjangan. Mungkin dengan menguraikan keunikan branjangan adalah cara yang paling tepat untuk menjelaskan alasan.  Meskipun aku sendiri tidak yakin apakah kalimat dapat menjelaskan dengan sebenarnya sesuatu yang ada dalam hati atau pikiran. 


Pertama. Mari kita lihat dari tubuhnya. Tubuh branjangan kecil, mungkin sama besar dengan burung gereja. Orang cenderung tidak akan melihatnya. Di lihat dari 'bleger'nya saja, tidak menarik. 'Cilik menthik, gak ketok moto', artinya saking kecilnya sampai tidak kelihatan mata. Dilihat dari ukurannya saja, kita bisa menebak bahwa branjangan tidak sekuat elang, tidak segagah garuda, tidak sebesar burung unta.

Kondisi ini diperburuk dengan warna bulu yang ‘kurang’ menarik’, coklat di seluruh badan. Perpaduan dari warna coklat muda dan coklat muda. Tidak ada warna lain. Khas warna-warna burung yang berasal dari pedesaan. Bulu branjangan tidak semenarik kenari, warna-warni; ada yang merah, kuning. Bulu branjangan tidak seelegant merak; cemlorot merah hijau kuning, seolah-oleh mampu mewarnai sekitarnya.

Kedua. Kesederhanaan tubuh branjangan diwujudkan dalam kesederhanaan  tempat tinggalnya. Kurungan branjangan terbuat dari potongan bambu, sama seperti kurungan burung yang lain. Jika dibandingkan dengan kurungan burung yang lain, kurungan branjangan sangatlah sederhana. 

Kurungannya tidak dicat ataupun di pernis, jadi masih menggunakan warna asli, yaitu coklat. Mirip dengan rumah-rumah desa yang tidak terbuat dari gedeg, warnanya tetap coklat tanpa warna-warna yang lain. Tidak seperti kurungan perkutut, yang dicat dengan warna yang bermacam-macam.
Kurungan branjangan tidak dihiasi ornamen-ornamen atau pernik-pernik. Tidak seperti kurungan cucak rowo atau poksay, yang ada hiasan-hiasan. Entah di plangkringan, entah plastik pengikat, entah pintu masuk, entah tempat minum. Ornamen itu tidak akan kita jumpai di kurungan branjangan.
Hal lain yang membedakan kurungan branjangan dengan kurungan burung yang lain adalah ada ‘deplokan boto’. Di alas kurungan ada taburan batu bata yang sudah dihaluskan, fungsinya untuk mandi. 
Perbedaan yang lain adalah plangkringannya, yang tidak memanjang dari satu ujung ke ujung lain. Plangkringan kurungan branjangan hanya sepotong kayu yang ditempatkan di bagiantengah dan bagian atas. Dan sekali lagi, plangkringannya bukan dari kayu yang dihaluskan atau diberi ornamen seperti plangkringannya kutut. Plangkringan branjangan, terbuat dari potongan dahan, yang tidak diamplas, tidak diberi ornamen, benar-benar asli potongan dahan yang hanya di lekatkan di satu sisi jari-jari kurungan.

Ketiga. Perilaku branjangan sangat energik. Dia suka terbang, mencolot ke atas-mencolot ke bawah, jumpalit-jumpalit, begitu terus tidak ada hentinya. Seolah-olah branjangan tidak pernah kehabisan tenaga. Apalagi jika branjangan mandi, keblek-keblek…. keblek…keblek…jumpalitan lagi. Dia menikmati momentnya, mandi di atas ‘deplokan boto’. Dia tidak terusik dengan kicauan di sekitarnya.


Keempat. Mungkin kesimpulan ini salah, tapi ini hanya berdasarkan pengamatan dari perilaku branjangan ‘omahan’ bukan branjangan yang tinggal di alam. Di antara ingon-ingon bapak, hanya branjangan yang tidak memiliki pasangan. Tidak seperti cucak rowo, punglor, poksay, jalak atau burung lain yang membutuhkan pasangan sebagai lawan atau pancingan untuk ngoceh. Seingatku, bapak hanya punya satu branjangan. Tapi burung ini selalu ngoceh. Eh ndak ding, dia jadi males ngoceh kalo sudah 'trondol'. Maksudnya adalah jika bulu-bulunya sudah mulai rontok. Istilah kerennya adalah hibernation. Itu berarti siklus hidupnya mulai turun. Kesimpulanku adalah branjangan adalah burung yang tidak terlalu membutuhkan orang lain, single fighter. Dia bisa menentukan tujuan hidupnya, tanpa harus dipancing atau memancing.

Mungkin masih banyak lagi keunikan dari branjangan yang menarik untuk disimak. Tapi hanya itu yang dapat kutemukan. Dan aku merasakan ada  kesamaan antara diriku dengan branjangan. Itulah alasannya, mengapa aku senang dengan branjangan.

Dear McPhee, sampai di sini dulu ya. Nanti aku cerita lagi tentang branjangan, setelah membaca cerita dari Raditya.
Gut nait

Dear McPhee
inilah jawaban Raditya tentang Branjangan. Dia mengirim hari Sabtu, 30 Januari 2010.
Ternyata cerita branjangan sudah lama ada di spam emailku, pantesan ditagih terus, aku gak tahu kenapa dia tdk ada di inbox...

Pertama kali mengenal branjangan waktu aku SD, bawa ketapel ke sawah mencari burung, dan pasti, aku tak pernah bisa membidiknya (kapan sih aku pernah berhasil membidik sasaranku, dasar pemburu amatiran...). Burung itu ada di lahan padi menjelang panen, aku hanya mampu mengusirnya terbang dengan ketapelku... Aku gak tahu itu burung apa, tapi temen-temen pemburu yang lebih senior bilang itu branjangan...

Branjangan yang satu ini sangat lain, dia branjangan yang cerdas, punya network yang luas, dan seperti nature-nya yang suka terbang kesana kemari dengan cepat tanpa ancang-ancang, branjangan ini juga blebar-blebar dengan enaknya mengepakkan sayap menjalankan profesinya yang menuntut dia banyak berhubungan dengan orang-orang di luar sarangnya di ilat (lidah, he he...).

Entah mulai kapan branjangan ini suka menulis yang prosais, karena aku mengenal dia sebagai penulis puisi yang ritmis. Tulisan eesai branjangan yang satu ini ternyata menarik  karena mampu menampilkan sesuatu yang detail, rinci, lengkap tentang suatu fenomena, sangkar dan pangkringannya, bagaimana branjangan mandi deplokan boto, dan lain-lain yang mampu dia jelaskan dengan detail...

Branjangan ini juga mampu mengungkap simbolisme yang ada di balik fenomena yang dia jumpai, kemampuannya menghubungkan sifat branjangan dengan prinsip hidupnya patut diacungi jempol. Juga keputusannya untuk memilih menjadi hanya satu jenis, branjangan. Tidak seperti aku yang sampai sekarang tidak pasti pilihannya: kadang menjadi bunglon yang ganti rupa dengan enaknya, kadal yang suka ngadalin orang, codot yang sering nyolong pelemnya orang, ular yang suka tlusar-tlusur nggubet mangsannya, elang yang suka terbang sendirian, atau tidak jarang menjadi.... buaya, darat lagi

Dear McPhee
sebenarnya aku ingin Radit mengkoreksi tulisanku. Tapi sudahlah......

No comments:

Post a Comment